Senin, 10 Februari 2014

KERAJAAN AWAL SUNDA NUSWANTARA

SEJARAH & PERADABAN PASCA BENCANA TSUNAMI LEMURIA DAN BERDIRINYA MASYARAKAT & KERAJAAN AWAL SUNDHA NUSWANTARA




Kerajaan Salakanagara, berdasarkan naskah Wangsakerta-Pustaka Rajyarajya Bumi Nusantara diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajataputra. Salaka berarti perak, sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kota perak, kota inilah yang disebut Agyre oleh Ptolemeus tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Salakanagara awalnya berbentuk suatu masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, bahkan namanya belum disebut Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu. Aki Tirem merupakan penghulu dan penguasa kampung setempat. Nama lain Aki Tirem Luhurmulya adalah Angling Dharma dan Wali Jangkung, namun ada pendapat lain bahwa Prabu Angling Dharma lebih tepat pada Raja Dewawarman. Prabu Angling Dharma terkenal sebagai kisah cerita rakyat (folkore) masyarakat Bojonegoro.

Raja pertama Kerajaan Salakanagara adalah Dewawarman. Dewawarman yang merupakan duta dari kerajaan India yang diutus ke Nusantara (Pulau Jawa), kemudian Dewawarman dinikahkan oleh Aki Tirem Luhurmulya dengan puterinya bernama Pwahaci Larasati (orang sunda menyebut Dewi Pohaci), maka setelah Dewawarman menjadi menantu dari Aki Tirem Luhurmulya diangkatlah Dewawarman menjadi Raja I yang memikul tampuk kekuasaan Kerajaan Salakanagara. Saat menjadi Raja Dewawarman I dinobatkan dengan nama Prabhu Dharmalokopala Dewawarman Haji Raksagapurasagara sedangkan Dewi Pohaci diberi gelar Dwi Dwani Rahayu penyerahan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 122 M, dan pada saat itu diberlakukan pula penanggalan sunda yang dikenal dengan Saka Sunda. Rajataputra adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 326 M menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 M sampai 362 M. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.

Kejayaan Kekaisaran Sunda Nusantara yang dimulai dari Kerajaan Salakanagara diperkuat setelah membaca novel sejarah berjudul "Perang Bubat" disana dikemukakan pada dasarnya, hampir semua rumpun yang ada di tanah Jawa ini punya hubungan dengan Sunda. Sang Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, berputra Mandi Minyak. Mandi Minyak kemudian menjadi Raja di Bumi Mataram. Putra Mandi Minyak diantaranya adalah Senna. Kemudian Senna ini pun menjadi Raja Mataram. Senna berputra Sanjaya. Sanjaya ini termasuk ksatria keturunan Sunda yang gagah dan pandai berperang. Dia menaklukkan beberapa di wilayah Jawa Tengah. Berhasil menaklukkan kekuatan perompak di Selat Sunda yang di dukung Kerajaan Sriwijaya. Dan pada akhirnya Sanjaya pun berhasil mengalahkan pasukan Sriwijaya yang kala itu di perintah oleh Raja Sriwijaya Kelima.

Bangunan keraton megah yang pertama kali dibuat adalah di Pakuan, bernama Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Arsiteknya adalah Maharaja Tarusbawa, Raja Kerajaan Sunda. Keraton Kerajaan Sunda yang kala itu ibu kotanya terletak di Pakuan memiliki arti khusus. Lima bangunan megah yang berjajar yang disebut sebagai mandala, melambangkan kekuasaan Kerajaan Sunda. Mandala pertama disebut sebagai "Sri Bima", melambangkan wilayah kekuasaan Sunda yang ada di Jawa Kulon. Mandala kedua diberi nama "Punta" melambangkan kekuasaan Sunda di sebagian wilayah Sumatra. Mandala ketiga bernama "Narayana" melambangkan kekuasaan Sunda di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mandala keempat bernama "Madura", melambangkan kekuasaan di Madura dan sekitarnya. Kemudian mandala kelima disebut sebagai "Suradipati" melambangkan kekuasaan Sunda yang mencakup Bali dan Nusa Tenggara. Atas pengakuan ini pula, kelak di kemudian hari di Nusantara di kenal wilayah Sunda Besar dan Sunda kecil.

Kerajaan Majapahit yang kala itu menjadi Kerajaan terbesar di Asia Tenggara mengakui asal usul kerajaannya, Prabu Rajasanagara atau lebih dikenal dengan Hayam Wuruk bermaksud untuk meminang Putri mahkota kerajaan Sunda yaitu Dyah Pitaloka Citraresmi, kehendak Sang Raja sempat di cegah oleh Mahapatih Gajah Mada dikarenakan Sumpah Amukti Palapa yang telah terucap oleh Gajah Mada bahwa "Tidak akan makan buah palapa sebelum Nusantara dipersatukan di bawah Majapahit", tapi Prabu Hayam Wuruk mengingatkan kembali bahwa Majapahit ini memiliki riwayat yang panjang, dan kesemuanya bermuara ke tanah Sunda. Sekarang aku beritahu, Sunda itu leluhur kami. Kami harus hormat pada mereka. Mungkin ini jadi masalah berat bagimu. Tundukkanlah seluruh negeri yang ada di Nusantara. Jadikan mereka negeri bawahan Majapahit kecuali Sunda. Dengan mereka, bahkan aku ingin mengentalkan kembali kekerabatan, Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk mengambil permaisuri dari tanah Sunda., " Kata Sang Prabu.

Jadi cikal bakal Kekaisaran Nusantara itu berasal dari Kerajaan Salakanagara, dari masa kejayaannya hingga masa keruntuhannya Salakanagara telah melahirkan kerajaan-kerajaan hebat di Nusantara. Sisa-sisa peninggalan berupa Menhir Cihunjura, dolmen, batu magnit, batu dakon, air terjun curug putri, pemandian Prabu Angling Dharma terdapat di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan ujung kulon.

Patut disayangkan bahwa telah banyak terjadi penyelewengan sejarah yang disengaja maupun kesalahan dalam menafsirkannya, satu diantaranya yang FATAL adalah NASKAH Pangeran Wangsakerta yang saat itu berada dibawah tekanan penjajah. Kesalahan sangat besar akan berakibat fatal ketika anak bangsa salah memahami sejarah kehidupan negaranya sendiri, patut dipahami bahwa sistem kodefikasi dalam kata-kata merupakan ciri kearifan lokal bangsa Nusantara. Perlu hati-hati dalam memaknai ‘situs atau ‘artefak’. Sebagai contoh; mayoritas anak Indonesia dari tingkat SMP hingga SMA bahkan perguruan tinggi jika ditanya tentang asal kata ‘Majapahit’ akan menjawab bahwa nama itu artinya ‘buah maja yang pahit’. Jika benar nama Majapahit itu dari kata buah maja yang pahit, maka hal tersebut akan menjadi rancu manakala kita harus menguraikan arti dari nama kata atau nama kota seperti Majalengka, Majalaya, Majakerta (Mojokerto), dan sebagainya. Contoh:
  • Majalengka, berasal dari kata ‘Maharaja Alengka’ yaitu masa Prabhu Sindhu La Hyang.
  • Majakerta, berasal dari kata ‘Maharaja Kertanegara’ yaitu masa Prabhu Dharmawangsa.
  • Majapahit, berasal dari kata ‘Maharaja Purahita’ yaitu dijaman Raden Wijaya.
  • Majalaya, berasal dari kata ‘Maharaja Mundinglaya’ yaitu dijaman Prabhu Siliwangi II.

Tatkala menguraikan asal mula kata Sunda, disamping beberapa pendapat serta kemiripan beberapa kata pada beberapa kebudayaan di luar Nusantara, Sunda menurut semiotika serta sistem kodefikasi Nusantara mengandung arti :

Sunda merupakan kependekan dari kata Su dan Ananda yang berarti ‘Su’ mengandung arti ‘kebenaran’, ‘A’ mengandung arti ‘tidak’, ‘Nanda’ mengandung arti ‘bergeming’. Sehingga kata Sunda dapat berarti : Kebenaran yang tidak bergeming atau Kebenaran yang Kokoh. Sunda sama sekali bukan nama suku (etnis) yang tinggal di pulau Jawa, melainkan nama atau sebutan bagi wilayah besar yang meliputi 1/4 dunia, atau sebutan lain dari sebutan Indonesia sekarang. Batas wilayah Sunda diduga merupakan batas wilayah ajaran dari Sundayana.

Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan Pa-Ra Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda diawali dari daerah Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang). Pada masa tersebut, para Karuhun telah memeluk ajaran yang disebut sebagai ‘Su-Ra-Yana’ atau Ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus habis dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau yang sangat luas (Danau Toba seluas 100 Km2).

Akibat meletusnya gunung tersebut, diceritakan bahwa dunia tertutup awan debu selama tiga bulan lamanya. Setelah itu, Mandala Hyang beralih ke Gunung Sunda, yang sekarang terkenal sebagai Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan ‘Buana Nyungcung’ karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit). Kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi ‘Banua’ atau ‘Benua’.

Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan atau tempat yang sudah menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa. Perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa. Pada masa itu dicapai berbagai penemuan teknologi darat dan laut. Kemudian daerah ini terkenal dengan sebutan ‘Buana A-ta’ atau buana yang kokoh dan tidak bergeming. Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan ‘Atalan’ (mungkin maksudnya Ata-Land). Kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali, saat Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa). Daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa).

Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang, tenggelam tidak bersisa, yang tersisa hanyalah sebuah bentuk Ajaran Surayana. Persis kejadian di Batara Guru (Gunung Toba) yang wilayahnya meliputi Pa-Da-Hyang, begtu uga dengan Batara Guru (Sunda) yang wilayahnya meliputi Pa-Ra-Hyang. Ajaran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) menjadi Ajaran Sundayana (Sindu Sandi Sunda) yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Perjalanan Prabu Sindu di wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto yang memuja kepada Sang Hyang Manon (Dewa Matahari atau Na-Ra) bahkan lambang dari ajaran tersebut kemudian dijadikan Bende-Ra bangsa tersebut.

Setelah itu ajaran tersebut menyebar sampai ke daerah India dan menyisir sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang dikenal sebagai Lembah Sungai Sindu (orang Barat mengenalnya sebagai Lembah Sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi ‘Mohenjodaro dan Harapa’ yang memiliki kemiripan nama dengan Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu yang kondisnya persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang ini.

Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayan ( masih tersisa di daerah Bali sekarang), serta Ajaran Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup. Perjalanan sejarah kemudian menjadikan ajaran-ajaran tersebut masuk kedalam klasifikasi Animisme dan Dinamisme.
Sampai saat ini masyarakat ditatar sunda masih gamang tentang apa agama Sunda Wiwitan itu. Memang kadang-kadang ada halangan yang terkait dengan masalah keyakinan, terutama ketika suatu keyakinan tersebut dikatagorikan pada istilah animisme dan dinamisme, karena dimata bayangnya menunjuk pada urusan surga dan neraka.
Istilah Sunda Wiwitan memang asyik di “haleuangkeun” dalam lagu-lagu rakyat atau di “padungdengkeun” dalam seminar-seminar atau saresehan. Tetapi mencari dan mengetahui kesejatian dari ajaran ini agak sulit dan nyaris tak diketahui. Mungkin juga masalahnya karena ketertutupan dari para penganutnya, atau ada semacam eliminasi dari kita yang mengaku kaum beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar