TEMUAN ILMIAH: LUMPUR “LAPINDO” PENYEBAB HILANGNYA MAJAPAHIT
Menurut
Kitab Pararaton yang diterjemahkan Brandes (1896) pada tahun 1296 Caka
atau 1374 Masehi telah terjadi sebuah bencana bernama “Pagunung nyar”
yang memundurkan peradaban Majapahit, kerajaan Nusantara terbesar.
Apakah karena bencana Pagunung Anyar? Seperti ditafsirkan erupsi gunung
lumpur ala semburan LuSi (Lumpur Sidoarjo).
Catatan didasarkan dari mempelajari buku-buku sejarah, geologi, dan folklore yang berselang lebih dari 100 tahun penerbitannya. Dimulai dari Daldjoeni (1984, 1992) “Geografi Kesejarahan”, lalu bersambung ke depan dan ke belakang menuju Purwadi (2001) “Babad Tanah Jawi : Menelusuri Jejak Konflik”, Slamet Muljana (1968, 2005) “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana (1965, 2005) “Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)”, Denys Lombard (1990) “Le Carrefour Javanais”, James Nash (1932), “Enige voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte – Handelingen van 6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”, H.J. de Graaf (1949) “de Geschiedenis van Indonesie”, J. Brandes (1896) “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, buku2 geologi karya Duyfjes (1936-1938) untuk pemetaan wilayah Kendeng bagian timur (“Zur geologie und stratigraphie des Kendenggebietes zwischen Trinil und Soerabaja” dan “Toelichting bij blad 115,109, 110, 116), juga karya masterpiece van Bemmelen (1949, 1972) “The Geology of Indonesia”, dan buku folklore karya James Danandjaja (1984) “ Folklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain2”.
Dari penelusuran buku-buku di atas terbawa ke pemikiran bahwa selain oleh alasan politik, kemunduran Majapahit mungkin diakibatkan deformasi Delta Brantas akibat rentetan erupsi gunung lumpur Jombang-Mojokerto-Bangsal pada kawasan sepanjang 25 km.
Diawali dari gunung yang dikeramatkan oleh penduduk dan tokoh-tokoh Majapahit sejak Mpu Sindok, Erlangga, dan para pengikutnya yaitu Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan, sebuah gunung setinggi 1659 meter di utara Gunung Arjuno-Welirang adalah gunung paling dekat ke lokasi semburan LuSi. Gunung ini terletak di sebelah selatan Sungai Porong dan masih ke sebelah selatan dari Gawir Watukosek, sebuah gawir sesar hasil deformasi Sesar Watukosek yang juga membelokkan Sungai Porong, melalui titik-titik semburan lumpur panas termasuk LuSi, juga melalui gunung-gunung lumpur di sekitar Surabaya dan Bangkalan, Madura.
Dalam sejarah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 1990). Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan-kerajaan itu mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan, Jenggala, Daha, Majapahit dan Tumapel (Singhasari).
Daerah genangan LuSi sekarang, dulunya adalah wilayah Medang atau Kahuripan sejaman Mpu Sindok dan Erlangga, juga termasuk ke dalam wilayah Majapahit. Setiap kali ada kekacauan di wilaya kerajaan-kerajaan tersebut maka Gunung Penanggungan dijadikan ajang strategi perang. Erlangga pun pada saat pengungsian dari serangan Worawari tahun 1016 yang menewaskan Dharmawangsa mertuanya (Maha Pralaya), bersembunyi di Penanggungan sambil memandang ke utara menuju lembah Porong dan Brantas memikirkan bagaimana membangun kerajaannya yang baru. Penanggungan pun dijadikan tempat2 untuk memuliakan tokoh-tokoh kerajaan. Di lereng timur gunung ini dibelahan terdapat makam Erlangga, makam Sindok di Betra dan makam ayah Erlangga di Jalatunda. Di Penanggungan pun terdapat ratusan candi, yang saat ini tidak terawat. Makam-makan yang dikeramatkan ditemukan penduduk Penanggungan pada awal abad ke-20 setelah berates-ratus tahun terkubur, saat mereka membakar gelagah yang menutupinya untuk keperluan pembuatan pupuk.
Dari Gunung Penanggungan ke lembah dan delta Brantas pemandangannya permai dan subur lahannya, sehingga banyak kerajaan didirikan di dataran Brantas. Menurut Nash (1932) – “hydrogeologie der Brantas vlakte”, Delta Brantas terbentuk berabad-abad lamanya; dan peranannya penting di dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur. Kemajuan dan kemunduran kerajaan2 ini kelihatannya banyak dipengaruhi oleh segala yang terjadi di Delta Brantas.
Menurut penelitian Nash pada tahun 1930, tanah Delta Brantas itu tidak stabil karena di bawahnya masih terus saja bergerak tujuh jajaran antiklin sebagai sambungan ujung Pegunungan Kendeng yang mengarah ke Selat Madura. Misalnya, pernah terjadi kenaikan tanah di sekitar sambungan (muara) Kali Brantas dengan Kali Mas; palung sungai bergeser ke kiri sehingga airnya mengalir ke barat. Setelah mengisi ledokan yang dinamai Kedunglidah (di sebelah barat Surabaya sekarang), kemudian mengalir menuju laut dan bermuara di dekat Gresik. Menurut catatan sejarah, Kedunglidah itu masih ada pada tahun 1838.
Denys Lombard, ahli sejarah berkebangsaan Prancis yang menulis tiga volume tebal buku sejarah Jawa tahun 1990 “Le Carrefour Javanais – Essai d’Histoire Globale” (sudah diterjemahkan oleh Gramedia sejak 1996 dan cetakan ketiganya diterbitkan Maret 2005) menulis tentang “Prasasti Kelagyan” jaman Erlangga bercandra sengkala 959 Caka (1037 M). Kelagyan adalah nama desa Kelagen sekarang di utara Kali Porong. Prasasti Kelagyan mmenceritakan bahwa pada suatu hari sungai Brantas yang semula mengalir ke utara tiba-tiba mengalir ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala dengan laut, merusak tanaman dan menggenangi rumah-rumah penduduk. Erlangga bertindak dengan membangun bendungan besar di Waringin Pitu dan memaksa sungai kembali mengalir ke utara. Mungkin, inilah yang disebut sebagai bencana “Banyu Pindah” dalam buku Pararaton.
Bencana seperti ini kelihatannya terjadi berulang-ulang, bencana yang sama dicatat di dalam buku Pararaton terjadi lagi tahun 1256 Caka (1334 M) di era Majapahit.
Sejak jaman Kerajaan Medang abad ke-9 dan 10, Delta Brantas yang dibentuk dua sungai (Kali Mas dan Kali Porong) diolah dengan baik, muara Brantas dijadikan pelabuhan untuk perdagangan (Pelabuhan Hujung Galuh). Ibukota kerajaan didirikan dan dinamakan Kahuripan yang letaknya di dekat desa Tulangan, utara Kali Porong, di sebelah barat Tanggulangin, di dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo sekarang (sekitar 10 km ke sebelah utara baratlaut dari lokasi semburan LuSi sekarang). Setelah kerajaan Erlangga pecah menjadi dua pada abad ke-11, yaitu Panjalu (Kediri) dan Jenggala (Kahuripan), dan Kahuripan mundur lalu dianeksasi Kediri, pelabuhan dari Brantas ditarik ke pedalaman di Canggu, dekat Mojokerto sekarang. Kemudian, Kediri digantikan Singhasari, lalu akhirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M, pusat kerajaan kembali mendekati laut di Delta Brantas, sehingga Majapahit menjadi kerajaan yang menguasai maritim.
Daldjoeni (1984) menulis bahwa mulai mundurnya Majapahit pada akhir tahun 1300-an mungkin bukan hanya karena sepeninggal patih Gajah Mada (1364 M) atau Raja Hayam Wuruk (1389 M), tetapi juga dapat dihubungkan dengan mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului rentetan bencana geomorfologis yang dalam buku-buku sejarah kini tidak pernah ditulis. Namun, sebagai gejala alami, kitab Pararaton mencatat hal-hal yang menarik. Menurut Prof. Slamet Muljana ditulis pada tahun 1613 M. Kitab Pararaton menceritakan kronik Singhasari sejak Ken Arok sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton adalah sumber sejarah penting Majapahit di samping Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (sejaman dengan Gajah Mada).
Dalam hubungan dengan kemunduran Majapahit, kitab Pararaton mencatat (Brandes, 1896: “Pararaton” terbit lagi tahun 1920 setelah diedit oleh N.J. Krom) :
Apakah bencana alam yang memundurkan era keemasan Majapahit yang dalam kitab Pararaton disebut bencana “Pagunung Anyar” adalah bencana-bencana terjadinya erupsi jalur gunung lumpur dari selatan Jombang-Mojokerto-Bangsal? Jalur itu membentuk jarak sepanjang sekitar 25 km. Kalau erupsi semua gunung lumpur itu sedahsyat seperti semburan LuSi sekarang, maka bisa dibayangkan bagaimana terganggunya kehidupan di Majapahit pada pada awal tahun 1400-an. Bencana fatal mungkin terjadi karena rusaknya pelabuhan Canggu di dekat Mojokerto, sehingga Majapahit (yang merupakan kerajaan maritime) menjadi terisolir dan perekonomiannya mundur. Masa itu sungai Canggu di Mojokerto masih bisa dilayari dari laut sekitar Surabaya (sekarang). Keruntuhan perekonomian mendorong alasan utama pergolakan politik antar saudara akibat saling berebut harta warisan sebagai sesuatu pemikiran yang lazim hingga hari ini.
Secara geologi, Jalur Jombang-Mojokerto-Bangsal adalah masih di dalam Jalur Kendeng, sejalur dengan lokasi semburan LuSi, masih di dalam wilayah bersedimentasi labil dan tertekan (elisional), yang menurut Nash (1932) di bawahnya dari selatan ke utara ada jajaran antiklin Jombang, antiklin Nunung-Ngoro, dan antiklin Ngelom-Watudakon yang terus bergerak yang menyebabkan Delta Brantas tidak stabil. Aktivitas deformasi di bagian timur Kendeng ini secara detail digambarkan oleh Duyfjes (1936) yang memetakan lembar peta 109 (Lamongan), 110 (Mojokerto), 115 (Surabaya), dan 116 (Sidoarjo) pada skala 1 : 100.000.
Dikutip dari buku van Bemmelen (1949) yang juga mengatakan bahwa secara struktural deformasi di wilayah Kendeng bagian timur ini terjadi melalui gravitational tectogenesis sebab geosinklin Kendeng timur-Madura Strait masih sedang menurun. Kondisi elisional semacam ini tentu memudahkan piercement structures seperti mud volcano eruption. Dari geosinklin menjadi antiklinorium jelas melibatkan sebuah sistem elisional.
Sepeninggal Hayam Wuruk, raja-raja Majapahit kurang cakap memimpin negara, banyak perang saudara, seperti Paregreg, yang melemahkan negara sampai akhirnya Majapahit runtuh pada tahun 1527 M saat diserang kerajaan Islam pertama di Jawa Demak. Suksesi tidak berjalan dengan baik. One-man show mendominasi pemerintahan selama Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tak ada regenerasi ke penerusnya. Sepeninggal pasangan Gajah Mada-Hayam Wuruk, negara melemah. Tetapi catatan tak tertulis di buku sejarah, kecuali tersirat di kitab Pararaton beserta kondisi geologis-geomorfologis Delta Brantas menunjukkan, bahwa bencana alam erupsi gununglumpur ala semburan LuSi pernah terjadi dan patut diperhitungkan sebagai kemungkinan penyebab kemunduran Majapahit.
Cerita rakyat atau dongeng Jawa Timur “Timun Mas” berasal dari sekitar masa kejayaan Kahuripan di Delta Brantas sekitar abad ke-11 (James Danandjaja, 1984: “Folklor Indonesia”). Kemunculan raksasa yang selalu disertai gempa, garam yang dilempar Timun Mas yang menjadi lautan dan terasi yang dilempar Timun Mas yang menjadi lumpur panas yang akhirnya menenggelamkan sang raksasa, secara samar menggambarkan kondisi bagaimana kalau sebuah mud volcano ala LuSi meletus. Kita melihatnya sekarang, lumpur panas dan genangan seperti laut dengan air asin menengelamkan desa-desa Sidoarjo yang dulunya adalah wilayah Kahuripan. Apakah dongeng Timun Mas sebenarnya menggambarkan bahwa dulu pun kasus seperti LuSi pernah terjadi? Berdasarkan penelusuran buku-buku sejarah, geologi, dan folklore Timun Mas rasanya memungkinkan mud vulkano benar terjadi.
Apakah bencana LuSi sekarang akan memundurkan Jawa Timur atau bahkan Indonesia? Sekitar 500-600 tahun yang lalu mungkin hal yang sama telah terjadi terhadap Majapahit! Setelah lima ratus tahun kemudian, seharusnya Indonesia tak semudah itu hancur diterjang bencana LuSi bukan? Tetapi mungkin ini suatu tanda agar kita mawas diri dan lebih bijak dalam bernegara, belajar dari pengalaman sejarah keruntuhan Majapahit. Walahualam.
Catatan didasarkan dari mempelajari buku-buku sejarah, geologi, dan folklore yang berselang lebih dari 100 tahun penerbitannya. Dimulai dari Daldjoeni (1984, 1992) “Geografi Kesejarahan”, lalu bersambung ke depan dan ke belakang menuju Purwadi (2001) “Babad Tanah Jawi : Menelusuri Jejak Konflik”, Slamet Muljana (1968, 2005) “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana (1965, 2005) “Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)”, Denys Lombard (1990) “Le Carrefour Javanais”, James Nash (1932), “Enige voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte – Handelingen van 6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”, H.J. de Graaf (1949) “de Geschiedenis van Indonesie”, J. Brandes (1896) “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, buku2 geologi karya Duyfjes (1936-1938) untuk pemetaan wilayah Kendeng bagian timur (“Zur geologie und stratigraphie des Kendenggebietes zwischen Trinil und Soerabaja” dan “Toelichting bij blad 115,109, 110, 116), juga karya masterpiece van Bemmelen (1949, 1972) “The Geology of Indonesia”, dan buku folklore karya James Danandjaja (1984) “ Folklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain2”.
Dari penelusuran buku-buku di atas terbawa ke pemikiran bahwa selain oleh alasan politik, kemunduran Majapahit mungkin diakibatkan deformasi Delta Brantas akibat rentetan erupsi gunung lumpur Jombang-Mojokerto-Bangsal pada kawasan sepanjang 25 km.
Diawali dari gunung yang dikeramatkan oleh penduduk dan tokoh-tokoh Majapahit sejak Mpu Sindok, Erlangga, dan para pengikutnya yaitu Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan, sebuah gunung setinggi 1659 meter di utara Gunung Arjuno-Welirang adalah gunung paling dekat ke lokasi semburan LuSi. Gunung ini terletak di sebelah selatan Sungai Porong dan masih ke sebelah selatan dari Gawir Watukosek, sebuah gawir sesar hasil deformasi Sesar Watukosek yang juga membelokkan Sungai Porong, melalui titik-titik semburan lumpur panas termasuk LuSi, juga melalui gunung-gunung lumpur di sekitar Surabaya dan Bangkalan, Madura.
Dalam sejarah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 1990). Kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan-kerajaan itu mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan, Jenggala, Daha, Majapahit dan Tumapel (Singhasari).
Daerah genangan LuSi sekarang, dulunya adalah wilayah Medang atau Kahuripan sejaman Mpu Sindok dan Erlangga, juga termasuk ke dalam wilayah Majapahit. Setiap kali ada kekacauan di wilaya kerajaan-kerajaan tersebut maka Gunung Penanggungan dijadikan ajang strategi perang. Erlangga pun pada saat pengungsian dari serangan Worawari tahun 1016 yang menewaskan Dharmawangsa mertuanya (Maha Pralaya), bersembunyi di Penanggungan sambil memandang ke utara menuju lembah Porong dan Brantas memikirkan bagaimana membangun kerajaannya yang baru. Penanggungan pun dijadikan tempat2 untuk memuliakan tokoh-tokoh kerajaan. Di lereng timur gunung ini dibelahan terdapat makam Erlangga, makam Sindok di Betra dan makam ayah Erlangga di Jalatunda. Di Penanggungan pun terdapat ratusan candi, yang saat ini tidak terawat. Makam-makan yang dikeramatkan ditemukan penduduk Penanggungan pada awal abad ke-20 setelah berates-ratus tahun terkubur, saat mereka membakar gelagah yang menutupinya untuk keperluan pembuatan pupuk.
Dari Gunung Penanggungan ke lembah dan delta Brantas pemandangannya permai dan subur lahannya, sehingga banyak kerajaan didirikan di dataran Brantas. Menurut Nash (1932) – “hydrogeologie der Brantas vlakte”, Delta Brantas terbentuk berabad-abad lamanya; dan peranannya penting di dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur. Kemajuan dan kemunduran kerajaan2 ini kelihatannya banyak dipengaruhi oleh segala yang terjadi di Delta Brantas.
Menurut penelitian Nash pada tahun 1930, tanah Delta Brantas itu tidak stabil karena di bawahnya masih terus saja bergerak tujuh jajaran antiklin sebagai sambungan ujung Pegunungan Kendeng yang mengarah ke Selat Madura. Misalnya, pernah terjadi kenaikan tanah di sekitar sambungan (muara) Kali Brantas dengan Kali Mas; palung sungai bergeser ke kiri sehingga airnya mengalir ke barat. Setelah mengisi ledokan yang dinamai Kedunglidah (di sebelah barat Surabaya sekarang), kemudian mengalir menuju laut dan bermuara di dekat Gresik. Menurut catatan sejarah, Kedunglidah itu masih ada pada tahun 1838.
Denys Lombard, ahli sejarah berkebangsaan Prancis yang menulis tiga volume tebal buku sejarah Jawa tahun 1990 “Le Carrefour Javanais – Essai d’Histoire Globale” (sudah diterjemahkan oleh Gramedia sejak 1996 dan cetakan ketiganya diterbitkan Maret 2005) menulis tentang “Prasasti Kelagyan” jaman Erlangga bercandra sengkala 959 Caka (1037 M). Kelagyan adalah nama desa Kelagen sekarang di utara Kali Porong. Prasasti Kelagyan mmenceritakan bahwa pada suatu hari sungai Brantas yang semula mengalir ke utara tiba-tiba mengalir ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala dengan laut, merusak tanaman dan menggenangi rumah-rumah penduduk. Erlangga bertindak dengan membangun bendungan besar di Waringin Pitu dan memaksa sungai kembali mengalir ke utara. Mungkin, inilah yang disebut sebagai bencana “Banyu Pindah” dalam buku Pararaton.
Bencana seperti ini kelihatannya terjadi berulang-ulang, bencana yang sama dicatat di dalam buku Pararaton terjadi lagi tahun 1256 Caka (1334 M) di era Majapahit.
Sejak jaman Kerajaan Medang abad ke-9 dan 10, Delta Brantas yang dibentuk dua sungai (Kali Mas dan Kali Porong) diolah dengan baik, muara Brantas dijadikan pelabuhan untuk perdagangan (Pelabuhan Hujung Galuh). Ibukota kerajaan didirikan dan dinamakan Kahuripan yang letaknya di dekat desa Tulangan, utara Kali Porong, di sebelah barat Tanggulangin, di dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo sekarang (sekitar 10 km ke sebelah utara baratlaut dari lokasi semburan LuSi sekarang). Setelah kerajaan Erlangga pecah menjadi dua pada abad ke-11, yaitu Panjalu (Kediri) dan Jenggala (Kahuripan), dan Kahuripan mundur lalu dianeksasi Kediri, pelabuhan dari Brantas ditarik ke pedalaman di Canggu, dekat Mojokerto sekarang. Kemudian, Kediri digantikan Singhasari, lalu akhirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M, pusat kerajaan kembali mendekati laut di Delta Brantas, sehingga Majapahit menjadi kerajaan yang menguasai maritim.
Daldjoeni (1984) menulis bahwa mulai mundurnya Majapahit pada akhir tahun 1300-an mungkin bukan hanya karena sepeninggal patih Gajah Mada (1364 M) atau Raja Hayam Wuruk (1389 M), tetapi juga dapat dihubungkan dengan mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului rentetan bencana geomorfologis yang dalam buku-buku sejarah kini tidak pernah ditulis. Namun, sebagai gejala alami, kitab Pararaton mencatat hal-hal yang menarik. Menurut Prof. Slamet Muljana ditulis pada tahun 1613 M. Kitab Pararaton menceritakan kronik Singhasari sejak Ken Arok sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton adalah sumber sejarah penting Majapahit di samping Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca (sejaman dengan Gajah Mada).
Dalam hubungan dengan kemunduran Majapahit, kitab Pararaton mencatat (Brandes, 1896: “Pararaton” terbit lagi tahun 1920 setelah diedit oleh N.J. Krom) :
- Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “BANYU PINDAH” (terjadi tahun 1256 Caka atau 1334 M);
- Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “PAGUNUNG ANYAR” (terjadi tahun 1296 Caka atau 1374 M).
Apakah bencana alam yang memundurkan era keemasan Majapahit yang dalam kitab Pararaton disebut bencana “Pagunung Anyar” adalah bencana-bencana terjadinya erupsi jalur gunung lumpur dari selatan Jombang-Mojokerto-Bangsal? Jalur itu membentuk jarak sepanjang sekitar 25 km. Kalau erupsi semua gunung lumpur itu sedahsyat seperti semburan LuSi sekarang, maka bisa dibayangkan bagaimana terganggunya kehidupan di Majapahit pada pada awal tahun 1400-an. Bencana fatal mungkin terjadi karena rusaknya pelabuhan Canggu di dekat Mojokerto, sehingga Majapahit (yang merupakan kerajaan maritime) menjadi terisolir dan perekonomiannya mundur. Masa itu sungai Canggu di Mojokerto masih bisa dilayari dari laut sekitar Surabaya (sekarang). Keruntuhan perekonomian mendorong alasan utama pergolakan politik antar saudara akibat saling berebut harta warisan sebagai sesuatu pemikiran yang lazim hingga hari ini.
Secara geologi, Jalur Jombang-Mojokerto-Bangsal adalah masih di dalam Jalur Kendeng, sejalur dengan lokasi semburan LuSi, masih di dalam wilayah bersedimentasi labil dan tertekan (elisional), yang menurut Nash (1932) di bawahnya dari selatan ke utara ada jajaran antiklin Jombang, antiklin Nunung-Ngoro, dan antiklin Ngelom-Watudakon yang terus bergerak yang menyebabkan Delta Brantas tidak stabil. Aktivitas deformasi di bagian timur Kendeng ini secara detail digambarkan oleh Duyfjes (1936) yang memetakan lembar peta 109 (Lamongan), 110 (Mojokerto), 115 (Surabaya), dan 116 (Sidoarjo) pada skala 1 : 100.000.
Dikutip dari buku van Bemmelen (1949) yang juga mengatakan bahwa secara struktural deformasi di wilayah Kendeng bagian timur ini terjadi melalui gravitational tectogenesis sebab geosinklin Kendeng timur-Madura Strait masih sedang menurun. Kondisi elisional semacam ini tentu memudahkan piercement structures seperti mud volcano eruption. Dari geosinklin menjadi antiklinorium jelas melibatkan sebuah sistem elisional.
Sepeninggal Hayam Wuruk, raja-raja Majapahit kurang cakap memimpin negara, banyak perang saudara, seperti Paregreg, yang melemahkan negara sampai akhirnya Majapahit runtuh pada tahun 1527 M saat diserang kerajaan Islam pertama di Jawa Demak. Suksesi tidak berjalan dengan baik. One-man show mendominasi pemerintahan selama Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tak ada regenerasi ke penerusnya. Sepeninggal pasangan Gajah Mada-Hayam Wuruk, negara melemah. Tetapi catatan tak tertulis di buku sejarah, kecuali tersirat di kitab Pararaton beserta kondisi geologis-geomorfologis Delta Brantas menunjukkan, bahwa bencana alam erupsi gununglumpur ala semburan LuSi pernah terjadi dan patut diperhitungkan sebagai kemungkinan penyebab kemunduran Majapahit.
Cerita rakyat atau dongeng Jawa Timur “Timun Mas” berasal dari sekitar masa kejayaan Kahuripan di Delta Brantas sekitar abad ke-11 (James Danandjaja, 1984: “Folklor Indonesia”). Kemunculan raksasa yang selalu disertai gempa, garam yang dilempar Timun Mas yang menjadi lautan dan terasi yang dilempar Timun Mas yang menjadi lumpur panas yang akhirnya menenggelamkan sang raksasa, secara samar menggambarkan kondisi bagaimana kalau sebuah mud volcano ala LuSi meletus. Kita melihatnya sekarang, lumpur panas dan genangan seperti laut dengan air asin menengelamkan desa-desa Sidoarjo yang dulunya adalah wilayah Kahuripan. Apakah dongeng Timun Mas sebenarnya menggambarkan bahwa dulu pun kasus seperti LuSi pernah terjadi? Berdasarkan penelusuran buku-buku sejarah, geologi, dan folklore Timun Mas rasanya memungkinkan mud vulkano benar terjadi.
Apakah bencana LuSi sekarang akan memundurkan Jawa Timur atau bahkan Indonesia? Sekitar 500-600 tahun yang lalu mungkin hal yang sama telah terjadi terhadap Majapahit! Setelah lima ratus tahun kemudian, seharusnya Indonesia tak semudah itu hancur diterjang bencana LuSi bukan? Tetapi mungkin ini suatu tanda agar kita mawas diri dan lebih bijak dalam bernegara, belajar dari pengalaman sejarah keruntuhan Majapahit. Walahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar